31 Juli 2008

WAGUB JABAR SAKSIKAN PENANDATANGANAN KESEPAKATAN KERJASAMA ANTARA BASIPDA DAN KPUD JABAR

Arsip merupakan bahan bukti kegiatan pemerintahan dan kehidupan kebangsaan serta juga merupakan bukti pertanggungjawaban nasional yang harus diketahui oleh generasi sekarang mau pun yang akan datang. Oleh sebab itu, arsip perlu dikelola secara profesional, baik manajerialnya maupun SDM arsiparisnya. Sehingga, arsip mampu menjadi bahan otentik dalam merangkai perjalanan sejarah bangsa, baik itu tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam pemerintahan, kebudayaan, politik dan bahkan juga dalam proses penegakan hukum. Demikian hal tersebut terungkap dalam sambutan Wagub Jabar, Yusuf M. Effendi, ketika menyaksikan secara langsung penandatanganan Kesepakatan Kerja Sama antara Badan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah Provinsi Jawa Barat, di Aula Gedung Basipda, Jl. Kawaluyaan Indah Indah II No.4, Bandung, Kamis 31/7. Kesepakatan Kerjasama yang terdiri dari tujuh pasal ini memuat klausul tentang penataan, penyelamatan dan pelestarian arsip Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat tahun 2008 dan Pemilu Tahun 2009. Penandatanganan yang dilakukan oleh Kepala Basipda, Drs.H. Deddy Junaedi dan Ketua KPUD Prov. Jabar tersebut, selain disaksikan oleh Wagub Jabar Dede Yusuf, juga disaksikan oleh sejumlah parpol, Kantor Arsip Daerah Kab./Kota, juga KPUD Kab/Kota serta tokoh dan sesepuh Jawa Barat.

Ketika dimintai keterangannya, Kepala Basipda Prov. Jabar, Drs.H. Dedi Junaedi, M.si. mengatakan bahwa kesepakatan kerja sama tersebut merupakan yang pertama kali dilakukan oleh tingkat provinsi di Indonesia. Dedi kemudian menghimbau kepada seluruh masyarakat Jawa Barat dan Lembaga/organisasi pemerintah atau swasta yang belum memiliki tempat penyimpanan arsip yang baik, Basipda siap menerima arsip statis yang akan dikelola secara profesional bagi kepentingan masyarakat umum.(ask)

29 Juli 2008

BASIPDA LAKUKAN SELEKSI DAN PENILAIAN ARSIP

″Penyusutan merupakan salah satu sarana penting untuk mengatasi masalah bertumpuknya arsip yang tidak berguna lagi!″ Demikian kata Drs. H. Dedi Junaedi, M.Si. Kepala Badan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat, ketika membuka rapat kerja Seleksi dan Penilaian Arsip, Selasa 29/7 di Ruang Rapat Kerja Basipda Jl. Kawaluyaan Indah II No.4, Soekarno-Hatta, Bandung. Dalam sambutan tersebut, lebih jauh Dedi meminta kepada seluruh peserta Seleksi dan Penilaian Arsip, untuk mengkedepankan objektivitas sehingga hasil penilaian bisa optimal.
Rapat kerja ini sendiri selain diikuti oleh sejumlah pejabat dari Badan Kearsipan Daerah Prov. Jabar juga diiukuti oleh pejabat yang arsipnya terkait dalam seleksi dan penilaian tersebut, yaitu dari Biro Keuangan, Kepegawaian, Pelayanan Sosial dan BPPMD. Menurut Kepala Bidang Pengelolaan dan Pelestarian, arsip yang akan dinilai sejumlah 43.740 berkas atau 2.719 Boks, yang terdiri dari׃
Arsip Kepegawaian (Personal File) dari tahun 1920 s.d 1955 sebanyak 7.383 Berkas/ 265 boks
Arsip Keuangan yang terdiri dari SPJ Gaji dari tahun 1989 – 1990 s.d. 1997 – 1998 sebanyak 12.059 berkas/948 Boks, dan Pentor (Pendapatan Penyetor) dari tahun 1971 – 2003 sebanyak 5.695 berkas/833 Boks.
Arsip Kesejahteraan Rakyat yang terdiri dari bantuan sarana keagamaan dan kesehatan dari tahun 1971 – 1992 sebanyak 1.603 berkas/43 boks dan kependudukan WNA menjadi WNI dari tahun 1950 – 1977 sebanyak 2.303 berkas/87 Boks.
Arsip IKTA (Izin Kerja Tenaga Asing) dari tahun 1955 – 2003 sebanyak 14.697 berkas/543 Boks.
Rencananya, Seleksi dan Penilaian Arsip ini akan berlangsung selama dua hari yakni tanggal 29 dan 31 Juli 2008. (ask)

27 Juli 2008

KOLEKSI INDONESIA DI BELANDA

Oleh: Roger Tol
Latar belakang:hubungan sejarah, politik dan akademis1
Koleksi-koleksi perpustakaan Belanda dan sumber-sumber arsip tentang Asia Tenggara bertalian erat dengan sejarah perdagangan Belanda dan penetrasi politik di wilayah ini. Seperti telah diketahui, sejak awal pengaruh Belanda memiliki fokus utama pada wilayah yang kini dikenal dengan nama Indonesia. Tidak mengherankan apabila kemudian koleksi-koleksi terbaik milik Belanda bertalian dengan kepulauan Indonesia. Sejarah perkembangan koleksi Belanda tentang Asia Tenggara masih harus terus dituliskan. Namun dapat dilihat sejumlah kecenderuangan umum.
Dalam segala hal, peran utama dimainkan oleh VOC, Persatuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur. Sejak akhir abad ke-16, perdagangan Belanda meluas secara pesat ke Hindia Belanda dengan bertambahnya maskapai dagang Belanda. Pada tahun 1602, maskapai-maskapai dagang tersebut bergabung ke dalam Persatuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC, singkatan dari bahasa Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie. Selama dua abad kemudian (sampai tahun 1800) VOC berkembang manjadi sebuah perusahaan multiasional sejati dengan ciri dan tindak-tanduk imperialis. VOC telah meninggalkan arsip-arsip luas dan terperinci tentang aktivitas mereka. Saya akan membahas hal tersebut nanti.
Selama abad ke-17 dan ke-18, kebanyakan objek yang dibawa dari Hindia Belanda dapat dikategorikan sebagai benda kuno, termasuk benda-benda yang berhubungan dengan ilmu botani serta bahasa dan sastra, kurang lebih dikumpulkan secara tidak teratur. Telah ada sejumlah naskah yang dibawa ke Belanda (misalnya: naskah daun lontar oleh Frederik de Houtman pada dekade pertama abad ke-17), tetapi pada saat itu benda tersebut hanya dinilai dari segi hiasan saja, bukan dari segi isinya. Pada saat itu belum ada apa yang sekarang ini disebut kebijakan pengembangan koleksi, meskipun dalam beberapa kesempatan Universitas Leiden pernah meminta bantuan maskapai dagang Hindia Belanda untuk membawa pulang benda-benda yang relevan bagi penelitian ilmiah. Benda-benda tersebut disimpan dalam koleksi hiasan, di taman botani, serta di perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan universitas, seperti misalnya perpustakaan Universitas Leiden.
Sejak akhir abad ke-18, mengoleksi benda-benda untuk kepentingan ilmu pengetahuan semakin menjadi hal yang lumrah. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran yang lebih umum akan ilmu pengetahuan – juga di Asia – seperti yang terjadi pada tahun 1778, yaitu dengan berdirinya Asosiasi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan2 di Batavia, lembaga pengetahuan tertua di Asia. Bersamaan dengan meningkatnya keterlibatan Belanda dalam politik dan perdagangan di Hindia Belanda yaitu sejak pertengahan abad ke-19, terjadi pula peningkatan dalam hal ketertarikan terhadap segala sesuatu yang berasal dari Asia. Pada masa itu, juga didirikan beberapa lembaga ilmu pengetahuan penting di Belanda, misalnya pada tahun 1851 didirikan Lembaga Linguistik dan Etnografi untuk Hindia Belanda3, dan dua tahun kemudian disusul dengan berdirinya Lembaga Hindia Belanda.4
Selain itu, pengaruh dalam perkembangan perpustakaan dan koleksi arsip tidak lepas dari perananan par amisionaris, yang aktivitasnya pada masa itu juga meningkat. Para misionaris biasanya tinggal untuk waktu lama di suatu wilayah sambil mengumpulkan sejumlah besar naskah tulisan tangan dan litografi, yang sebagian besar kini disimpan di koleksi umum.
Sejarah panjang Belanda dalam studi Asia tidak hanya dengan kepulauan Indonesia saja. Asia Selatan (terutama India) dan Asia Timur (Cina dan Jepang) juga merupakan wilayah penelitian yag penting. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dari segi imu pengetahuan, studi Belanda tentang Asia mengutamakan ilmu filologi, sejarah, linguistik, antropologi, sosiologi, dan baru-baru ini, studi pembangunan. Sejak tahun 1975, universitas di Belanda telah menyepakati pembagian tugas secara luas. Ilmu-ilmu sosial tentang Asia Selatan dan Asia Tenggara moderen ditangani oleh Universitas Amsterdam, sementara Universitas Leiden berfokus kepada studi bahasa dan budaya dari wilayah tersebut (termasuk antropologi Indonesia). Namun, pada prakteknya pembagian tersebut tidak terlalu mutlak, khususnya dalam bidang penelitian sejarah.
Sampai pada Perang Dunia kedua, kurang lebih karena tradisi, telah menjadi hal yang lazim bagi perpustakaan Belanda untuk mengumpulkan koleksi tentang Hindia Belanda. Setelah perang tersebut, dan terutama sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah semua itu berubah secara drastis. Sampai pada tahun 1962 Belanda masih terlibat di Irian Jaya, namun sejak saat itu Belanda tidak lagi memiliki koloni di Indonesia. Hubungan politik yang buruk antara Indonesia dan Belanda sejak era Soekarno, sekitar tahun 1950 dan 1965, menyebabkan kemunduran dalam studi Indonesia di Belanda. Dapat dikatakan tidak ada mahasiswa baru di bidang studi Indonesia dan penambahan koleksi perpustakaan dari Indonesia hamper tidak ada sama sekali.
Era tersebut pastilah sangat mengecewakan bagi semua sarjana yang terlibat dalam studi Indonesia karena kurangnya umpan balik (feedback) dari bdian studi mereka. Tak heran jika akhirnya kita melihat adanya dua kecenderungan: pertama, suatu perubahan minat ke wilayah yang berbeda dari penelitian tersebut. Kecenderungan kedua pada masa itu adalah semacam konsolidasi ilmiah, pada masa itu, dengan banyak hasil akademis yang berhubungan dengan masa lampau, studi filologi, inventaris, katalog, dan sebagainya. inGHi
Setelah Suharto berkuasa pada tahun 1965, barulah hubungan antara kedua negara kembali membaik, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Kedua negara nampaknya menyadari keberadaan sumber-sumber pengetahuan yang tidak dimanfaatkan di Belanda, baik berupa material maupun personal, yang dapat dikembangkan untuk kepentingan bersama. Tentu saja, arsip colonial, museum, dan perpustakaan penuh sesak dengan hal-hal yang bernilai tinggi untuk Indonesia. Banyak dari objek tersebut unik dan tidak ada dalam koleksi yang ada di Indonesia. Selain itu, para mantan pegawai pemerintah, sarjana, petugas bahasa, pengusaha, dan orang-orang lain yang memiliki pengetahuan luas tentang urusan Indonesia, juga masih ada.
Kesadaran tersebut, seiring dengan fakta tak terbantahkan bahwa kedua negara memiliki sejarah bersama, terwujud dalam meningkatnya kerja sama akademik antar kedua negara. Semakin banyak mahasiswa Belanda yang terlibat dalam studi Indonesia melakukan kerja lapangan di Indonesia, sementara banyak mahasiswa Indonesia belajar di universitas-universitas di Belanda, terutama di bidang teknologi (di Universitas Delft), agrikultur (di Universitas Wageningen), dan ilmu humaniora (di Universitas Leiden, Amsterdam dan Utrecht). Khususnya di bidang humaniora dukungan diberikan oleh Program Studi Indonesia yang berlangsung dari 1978 sampai 1992.
Pada tahun 1992, karena kritik pemerintah Belanda yang terus menerus terhadap masalah hak asasi manusia di Indonesia, khususnya setelah peristiwa pembantaian Santa Cruz di Timor Timur, Suharto menolak bantuan dari Belanda. Hubungan kedua negara pun kembali meregang, dan hampir semua dana bantuan Belanda dihentikan. Sebagai akibatnya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar ke Belanda menurun drastis.
Pada era setelah kekuasaan Suharto, terdapat peningkatan dalam perkembangan hubungan Belanda-Indonesia, terutama setelah pemerintah Belanda akhirnya secara resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal berdirinya Republik Indonesia.5 Dalam bidan kerja sama akademik, hubungan antara Indonesia dan Belanda telah kembali normal. Banyak mahasiswa Indonesia kini belajar di berbagai Universitas dan perguruan tinggi di Belanda. Hubungan antara pusat penelitian ilmiah pun telah menguat. Sebagai contoh, terdapat kerja sama yang berkesinambungan antara Lembaga Ilmu Pengetahuan di Indonesia dan Belanda (LIPI/AIPI dan KNAW). Salah satu program bersama adalah pendirian Akademi Profesor Indonesia (API), penganugerahan sebuah posisi yang bergengsi bagi seorang cendikiawan Indonesia, untuk meningkatkan penelitian dasar di antara akademisi Indonesia. Program KNAW lainnya untuk studi Indonesia adalah SPIN, Program Ilmiah Indonesia-Belanda, yang juga terbuka bagi sarjana Indonesia.6
Faktor pendorong lainnya yang penting dalam konsolidasi dan perluasan studi Asia adalah berdirinya Lembaga Internasional untuk Studi Asia (IIAS) pada tahun 1993. Lembaga ini merumuskan tujuan: “untuk mempromosikan studi Asia dalam ilmu humaniora dan ilmu sosial, serta untuk menyelenggarakan berbagai program antar ilmu dalam bidang-bidang tersebut, baik untuk peneliti Belanda maupun luar negeri, demi memperkuat kerja sama antar ilmu, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam konteks global. Lembaga ini merupakan lembaga yang dinamis yang antara lain menerbitkan sebuah Newsletter yang menarik dan informatif, gratis lagi.7
Koleksi dokumen di Belanda mengenai Asia Tenggara, khususnya Indonesia
Karena ini adalah pertemuan para pustakawan, selanjutnya saya akan membahas koleksi naskah cetak dan tulisan tangan saja. Oleh karena itu koleksi museum tidak diikutsertakan dalam pembahasan ini.
ARSIP
Selama masa kolonial, administrasi Belanda di Batavia membuat dan menyimpan arsip-arsip mereka sendiri. Surat-surat yang diterima dari pejabat-pejabat daerah – umpamanya Malaka – yang dianggap paling penting, disalin dan dilampirkan pada laporan tahunan (Generale Missive), lalu dikirim ke Belanda. Arsip-arsip lengkap tidak pernah dikirim dari Batavia ke Belanda. Secara umum, dokumen-dokumen yang dikirim ke Belanda – yang kini tersimpan dalam Arsip Nasional (National Archief) di Den Haag – adalah salinan dari dokumen-dokumen pilihan. Dokumen asli yang disimpan di Batavia kemudian disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta. Koleksi di Jakarta lebih luas dan lebih terperinci daripada koleksi di Den Haag, setidaknya secara teori. Namun, karena iklim tropis yang kurang menguntungkan dan juga karena kurangnya minat terhadap arsip-arsip tersebut pada era kolonial, serta adanya masalah politik pada dasawarsa pertama setelah kemerdekaan Indonesia, juga karena sangat banyaknya jumlah koleksi, arsip-arsip di Jakarta baru ditangani secara professional pada tahun 1970an. Secara praktek, arsip-arsip di Den Haag lebih mudah diakses daripada yang terdapat di Jakarta, tetapi yang terakhir lebih kaya dalam hal isi, terutama dari materi-materi yang berasal dari abad ke-18 sampai ke-20 (Drooglever 1985: 125-26).
Arsip-arsip VOC tahun 1602-1795 8
VOC yang didirikan pada tahun 1602 dinasionalisasikan oleh Perancis pada tahun 1996 dan akhirnya secara resmi dibubarkan pada tahun 1800. Di Belanda, VOC diatur oleh dewan yang terdiri dari 17 direktur yang disebut Heeren XVII. Di Asia sendiri, pengambilan keputusan ada di tangan Pemerintah Tertinggi (Hoge Regering) di Batavia. Pemerintah Tertinggi ini, dipimpin oleh Gubernur Jendral, yang mengurus korespondensi tetap dengan seluruh cabang dan kantor VOC di Asia (Cos 1993: 10-11).
Hasil korespondensi inilah, khususnya ‘Surat dan berkas yang diterima dari Asia’ (Overgekomen brieven en papieren), yang memiliki arti pentig bagi Asia. Koleksi yang terdapat di Arsip Nasional itu terdiri dari 2934 jilid besar (satu jilid tebalnya bisa mencapai 50 sentimeter) dan berisi banyak sekali informasi dari era tahun 1607 sampai 1794, atau hampir dua abad. Pada tahun-tahun awal dokumen-dokumen tersebut dikumpulkan dalam beberapa bundel tahunan, awalnya secara agak sembagan, tetapi mulai tahun 1660 dan sesudahnya dikumpulkan dengan lebih tertata:
Surat-surat umum (Generale missive); lihat bawah,
Dokumen (dari Gubernur Jendral dan dewan) urusan perdagangan di Asia, terutama Batavia,
Dokumen dari Dewan Peradilan (Raad van Justitie),
Dokumen dari Asia Barat, misalnya Persia,
Dokumen dari sejumlah pemukiman besar, seperti Benggali dan Ceylon yang laporannya dikirim secara langsung ke Belanda, tidak melalui Batavia. Seringkali koleksi-koleksi tersebut merupakan duplikat dari arsip di pemukiman tersebut.
Buku kumpulan surat Batavia yang berisi dokumen masuk (Bataia’s ingekomen brievenboek); lihat bawah.
‘Surat-surat Umum’ (Generale missive) disimpan dalam jilidan tahunan yang seringkali amat tebal. Topik-topik yang dibahas dalam ‘Surat-surat umum’ biasanya memiliki urutan yang teratur. Awalnya, dokumen tersebut berisi laporan umum mengenai pelayaran kapal-kapal dan perdagangan, kemudian diikuti oleh pembahasan mengenai berbagai pemukiman VOC. Bagian akhir dari surat-surat tersebut membahas urusan keuangan dan pegawai. Dalam surat-surat dari pemukiman-pemukiman ke Batavia terdapat urusan-urusan berikut: pelayaran kapal-kapal, perdagangan secara umum, perdagangan secara terperinci, berita wilayah itu, urusan pegawai dan urusan hukum. Selain itu, surat-surat tersebut seringkali dilengkapi dengan catatan tambahan panjang yang merujuk pada topik tertentu. Kutipan dari Surat-Surat Umum diterbitkan dalam sebuah seri yang dimulai pada tahun 1960 oleh W. Ph. Coolhaas dan sampai sekarang masih berjalan.
Dokumen terpenting adalah ‘Buku kumpulan surat Batavia berisi dokumen masuk’ (Batavia’s ingekomen brievenboek), yang memuat salinan dari semua surat yang diterima di Batavia dari pemukiman-pemukiman di Asia.9 Dalam dokumen-dokumen ini seringkali duplikat dan berkas-berkas terperinci (laporan, catatan harian, dokumen duplikat dan berkas-berkas administratif). Dokumen tersebut sebetulnya terkadang sangat luas, sehingga sering dianggap sebagai arsip duplikat dari pemukiman itu. 10
Terpencar di seluruh ‘Surat dan berkas yang diterima dari Asia’ ditemukan naskah-naskah beserta dokumen lainnya yang berkaitan dengan perjanjian pihak Belanda dengan sejumlah pemimpin pribumi di Asia. 11 Namun, sebagian besar hanya berupa terjemahan bahasa Belandanya saja. Tetapi koleksi dari Arsip Umum Negara menyimpan kejutan juga: sebuah ilustrasi dalam buku karya Raben menunjukkan ‘Surat tertulis dalam bahasa Arab dan naskah berbahasa India’, yang mungkin saja merupakan bukan bahasa Arab melainkan bahasa Melayu dalam tulisan jawi. Selanjutnya pada tahun 1984 sejumlah naskah berbahasa Melayu ditemukan di antara dokumen-dokumen tersebut (Molen 1984).
Untuk menggambarkan keluasan cakupan materi tersebut, saya memberikan isi dari ‘Surat dan berkas yang diterima dari Asia’ dalam kurun waktu setahun, yaitu 1689 (dipilih secara acak). Dokumen dari tahun 1689 itu dijilid dalam 16 bundel dan berisi 14 buku (Raben et al. 1992:181) :
Buku pertama : Batavia, bagian pertama
Buku pertama : Batavia, bagian pertama, sambungan
Buku pertama : Batavia, bagian pertama, sambungan kedua
Buku kedua : Batavia, bagian kedua
Buku ketiga : Batavia, bagian ketiga
Buku keempat : Ceylon, bagian pertama
Buku kelima : Ceylon, bagian kedua; Surat, Benggali
Buku keenam : Benggali, Coromandel, Malabar, Surat, Persia
Buku ketujuh : Komisaris Jendral H.A. van Reede tot Drakenstein, pt.I
Buku kedelapan : Komisaris Jendral H.A. van Reede tot Drakenstein, pt.II
Buku kesembilan : dari Batavia mengenai Ambon, Banda
Buku kesepuluh : dari Batavia mengenai Makasar, Timor, Melaka
Buku Kesebelas : Buku kumpulan surat Batavia tentang dokumen masuk, bagian
Pertama: Ambon, Banda Makasar, Butung, Timor, Siam, China,
Tonkin, Jepang, Melaka, Pantai barat Sumatra, Palembang, Jambi
Buku Keduabelas : Buku kumpulan surat Batavia tentang dokumen masuk, bagian
kedua: Benggali, Coromandel, Ceylon, Malabar, Surat
Buku Ketigabelas : Buku kumpulan surat Batavia tentang dokumen masuk, bagian
ketiga: Persia, Tanjung Harapan, Jawa
Buku Keempatbelas : Buku kumpulan surat Batavia tentang dokumen masuk, bagian
Keempat: Palembang, Jambi, Siam, Tonkin, Melaka, Pantai barat
Sumatra, Coromandel, Ceylon, Benggali, Surat, Persia, Jawa.
Arsip tahun 1796-1962
Antara tahun 1796 dan 1813, saat Perancis menduduki Belanda dan orang Inggris mengelola (sebagian) aset Belanda di Hindia Belanda, tidak ada arsip tetap yang disimpan di Belanda. Baru sejak tahun 1814 dan sesudahnya ditemukan arsip mengenai koloni-koloni yang disusun rapi di Kementerian untuk Urusan Kolonial. Sesungguhnya, arsip tersebut disimpan dari tahun 1814 sampai 1962, ketika Belanda harus menyerahkan Irian Jaya ke Indonesia dan akhirnya kehilangan koloni terakhirnya di Hindia Belanda. Arsip-arsip tersebut juga disimpan di Arsip Nasional di Den Haag. Di luar berkas-berkas politik yang disiapkan di Belanda, arsip-arsip ini juga berisi laporan, memorandum, surat dan sejenisnya yang berasal dari koloni, yang penting bagi penyusunan kebijakan.
Pengenalan dan panduan terbaik untuk arsip ini adalah Jaquet 1983. Daftar indeksnya berisi tidak kurang dari 43 ribu masukan mencakup semua arsip di Belanda selama periode 1796-1949. Tak diragukan bahwa suatu penyelidikan yang sistematis akan menyingkap lebih banyak lagi ‘permata tekstual’ yang masih terkubur sampai saat ini.
Selanjutnya saya ingin membahas secara singkat dua sumber penting arsip lainnya:
Laporan resmi dari pegawai pemerintah, khususnya yang disebut Laporan Serah Terima (Memorie van Overgave), seringkali berupa catatan panjang mengenai keadaan di sebuah wilayah tertentu pada saat peralihan kekuasaan dari satu pegawai pemerintah kepada yang lain. Isinya terkadang sangat terperinci dan mengikutsertakan peta, serta laporan mengenai situasi ekonomi dan politik dan sebagainya, sehingga secara kasat mata Nampak seperti karangan ilmiah. Banyak dari Memories van Overgave ini telah dibuat microfilm oleh IDC dan diperjual-belikan. Aslinya disimpan di Arsip Nasional dan sebagian juga di KITLV. Sumber kaya lainnya adalah arsip-arsip misionaris. Lembaga Alkitab Belanda adalah salah satu yang terbesar, sedangkan misionaris lainnya disimpan di Institut Hendrik Kraemer di Leiden. Di luar koleksi yang besar ini, terdapat juga sejumlah arsip misionaris yang lebih kecil, salah satunya terdapat di Societas Verbum Dei (SVD) di Teteringen, yang secara khusus berurusan dengan Flored dan Timor.
NASKAH
Yang saya maksud di sini dengan naskah adalah naskah yang secara spesifik ditulis dalam bahasa dan sistem penulisan pribumi. Mayoritas terbesar naskah itu berasal dari Indonesia, meskipun terdapat juga sejumlah naskah dari beberapa wilayah lain di Asia Tenggara.
Sepanjang era kolonial, banyak naskah Indonesia dimasukkan ke dalam koleksi umum Belanda. Sejumlah naskah asli dan kuno, sebagian lagi adalah salinan yang dipesan oleh sarjana-sarjana Belanda, pegawai pemerintah atau oleh pemerintah. Pada abad ke-19 terjadi peningkatan pemerolehan naskah dari Hindia Belanda yang sangat besar. Sebagian besar dari ribuan naskah tersebut ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Bali, namun sekitar 35 bahasa daerah Indonesia lainnya juga terwakili.
Dua tipe utama dapat dilihat dalam perkembangan koleksi naskah selama era kolonial. Tipe pertama, naskah dikirim ke Batavia ketika memasuki koleksi naskah Asosiasi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia, yang didirikan tahun 1778. Sebagian besar naskah ini msih berada di Indonesia dan kini disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Tipe kedua adalah naskah yang ‘terdampar’ di Belanda, dan biasanya merupakan milik kolektor ilmiah yang kemudian menyumbangkan naskah mereka ke perpustakaan.
Sebagai contoh penyebaran ini saya menyebut dua koleksi naskah Melayu penting yang dipesan oleh sarjana Belanda. Kedua koleksi tersebut sebagian besar berisi naskah dari wilayah Johor-Riau. Satu koleksi yang dipesan oleh misionaris Klinkert dikirim ke Lembaga Alkitab Belanda lalu dipinjamkan ke perpustakaan Universitas Leiden. Koleksi penting lainnya dipesan oleh pegawai pemerintah Belanda, Von de Wall dan disimpan di Batavia. Koleksi ini masih disimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Tak diragukan jika koleksi terbesar naskah Indonesia –kemungkinan koleksi terbesar di dunia- sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Koleksi terbesar kedua di Belanda juga terdapat di Leiden, yaitu di KITLV.
Empat koleksi dokumen terbesar
Sekarang saya akan membahas secara singkat empat koleksi dokumen besar mengenai Asia Tenggara di Belanda.
NATIONAL ARCHIEF (ARSIP NASIONAL), DEN HAAG
Didirikan tahun 1802 dan saat ini ditempatkan dalam kompleks yang sama dengan Perpustakaan Kerajaan Belanda (yang berfungsi sebagai Perpustakaan Nasional Belanda). Berisi hanya materi-materi non-cetak. Untuk Studi Asia Tenggara, arsip VOC dan arsip Kementerian untuk Urusan Kolonial adalah yang terpenting. Terpencar di dalam koleksi tersebut dapat ditemukan naskah Melayu, namun sampai kini naskah-naskah Indonesia belum diinventarisasi secara sistematis.
Kontak:
Alamat untuk pengunjung:
Prins Willem Alexanderhof 20
Den Haag
Belanda
Alamat korespondensi:
P.O. Box 90520
2509 LM Den Haag
Belanda
Telepon (operator): +31 70 331 5400
Telepon (informasi): +31 70 331 5444
Fax: +31 70 331 5540
E-mail: info@nationaalarchief.nl
www.nationaalarchief.nl/
UNIVERSITEITSBIBLIOTHEEK LEIDEN (PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS LEIDEN)
Di Leiden ada dua perpustakaan yang memiliki koleksi cukup besar mengenai Asia Tenggara, terutama tentang Indonesia dan Malaysia. Salah satunya adalah Perpustakaan Universitas Leiden. Sedangkan yang lain adalah Perpustakaan KITLV. Universitas Leiden adalah universitas tertua di Belanda. Universitas Leiden didirikan oleh Pangeran Willem van Oranje pada tahun 1575 sebagai penghargaan atas perlawanan Leiden terhadap tentara Spanyol selama Perang Delapan Puluh Tahun. Studi bahasa-bahasa Timur di Leiden (yang sampai pada abad ke-19 diartikan sebagai studi bahasa Semit) dimulai secara bersamaan dengan pendirian Universitas Leiden.
Naskah
Departemen Oriental Perpustakaan Leiden dikenal dengan sebutan Legatum Warnerianum, dinamakan seperti Levinus Warner (1619-1665), seorang kolektor terkemuka yang mewariskan kepada Universitas Leiden semua naskah dan buku koleksinya selama 20 tahun ia tinggal di Istanbul. Legatum kini menyimpan koleksi naskah yang penting dari bapak linguistic Austronesia, H.N. van der Tuuk (1824-1894) (terutama Melayu, Jawa Kuno, Batak dan Bali), ahli Orientalis termasyhur C. Snouck Hurgronje (1857-1936) (terutama Melayu, Aceh dan Arab), misionaris H.C. Klinkert (1829-1913) (terutama Melayu) dan misionaris B.F. Mattes (1818-1908) (Bugis dan Makasar).
Dokumen Cetak
Perpustakaan ini dalam skala besar didesentralisasi, terdiri dari gedung utama tempat koleksi humaniora disimpan (termasuk naskah oriental), dan sejumlah perpustakaan fakultas dan perpustakaan institusi, yang tersebar-sebar di Leiden. Perpustakaan tersebut menyimpan koleksi yang bagus dengan karya-karya cetak lama dari Indonesia dan Malaysia. Penambahan koleksi terkini mengenai dan dari Indonesia (dan Asia Tenggara secara umum) masih berjalan, tetapi sejak pindahnya KITLV ke Leiden pada tahun 1966, dalam skala yang lebih kecil. Perpustakaan tersebut memiliki sekitar 50.000 judul mengenai Hindia Belanda, Indonesia, Malaysia, dan Asia Tenggara secara umum.
Alamat:
Universiteitsbibliotheek
Special Collections
Witte Single 27
P.O. Box 9501
2300 RA Leiden
Telepon: +31-71-527 2857
Email: specialcollections@library.leidenuniv.nl
www: http://ub.leidenuniv.nl/
KONINKLIJK INSTITUUT VOOR DE TROPEN (LEMBAGA TROPIS KERAJAAN BELANDA; KIT), AMSTERDAM
Didirikan pada tahun 1910, dan sebagian koleksinya berasal dari tahun 1860 (dari perpustakaan Kolonial Instituut di Haarlem). Seperti yang tersirat dari huruf K – yang sebelumnya merupakan singkatan dari Kolonial, Hindia Belanda adalah fokus utamanya. Koleksi tersebut, khususnya sampai tahun 1950, masih relevan bagi kita dan berisi sejumlah besar benda unik, terutama dari bidang sosial ekonomi, agrikultur dan laporan statistic.
Naskah
Dalam koleksi museum (yang dipisah dari perpustakaan) terdapat sejumlah naskah dari kepulauan Indonesia, di antaranya terdapat naskah tertua dari Sulawesi Selatan.
Dokumen Cetak
Sejak tahun 1950 dan sesudahnya kebijakan umum KIT semakin diarahkan kepada penambahan koleksi yang berhubungan dengan kebijakan pembangunan dan Dunia Ketiga. Karena itu, dokumen dalam bahasa pribumi Indonesia, seperti Melayu, Jawa dan Sunda tidak dikumpulkan lagi. Meskipun begitu, sebagian besar (sekitar 30%) dari koleksi KIT masih berhubungan dengan Asia. Sekitar setengah dari koleksi tersebut menyangkut Indonesia, seperempatnya dengan India, sementara sisanya menyangkut Cina, Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia dan Pakistan. Koleksi Asia dari perpustakaan KIT berjumlah sekitar 60.000 judul dan memiliki ciri yang fungsional dan mencerminkan pendekatan multidisiplin. Selanjutnya, perpustakaan KIT juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai terbitan dari Bank Dunia ILO, dan berlangganan secara global semua publikasi dari WHO.
Kontak:
Alamat pos:
P.O. Box 95001
1090 HA Amsterdam
Address
Alamat berkunjung:
Mauritskade 63
1092 AD Amsterdam
Telepon: + 31 20 568 8711
Fax: + 31 20 668 4579
www.kit.nl
KITLV(LEMBAGA KERAJAAN BELANDA UNTUK STUDI MENGENAI ASIA TENGGARA DAN KARIBIA, LEIDEN)
Lembaga ini didirikan pada tahun 1851 dan sampai pada tahun 1950 kata “dari Hindia Belanda” masih menjadi bagian dari namanya. Meskipun kini tidak tersirat lagi dari namanya, perpustakaan ini masih memberikan fokus utama kepada Indonesia, di mana lembaga ini memiliki kantor perwakilan (KITLV-Jakarta). Koleksi KITLV mengenai Indonesia sangat terkenal dan menarik sarjana-sarjana dari seluruh dunia. Sejak awal berdirinya sampai sekarang, perpustakaan ini juga mengoleksi naskah-naskah mengenai bahasa Austronesia, sastra dan budaya, serta humaniora Asia Tenggara dan Oseania. Sejak tahun 1970an, penambahan koleksi dari Indonesia mengalami peningkatan yang cukup banyak. Perpustakaan KITLV juga membangun hubungan khusus dengan Perpustakaan Negara Malaysia dalam perannya sebagai Pusat Sumber Malaysia untuk Eropa.
Naskah
Terdapat beberapa ribu naskah Barat dan Timur yang penting, beberapa ratus buah dalam bahasa Melayu, Jawa, Bugis, dan bahasa Indonesia lainnya.
Foto
Terdapat sekitar 100.000 foto dalam koleksi KITLV. Sebagian besar telah didigitalisasi dan tersedia di Internet (www.kitlv.nl, klik’Images’).
Dokumen cetak
Koleksi berjumlah lebih dari 600.000 jilid. Pertumbuhan tahunan adalah sekitar 10.000 judul, termasuk sekitar 5000 judul dari Indonesia. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, terdapat penurunan drastis dalam penambahan koleksi dari Indonesia selama tahun 1950-1965. Banyak buku kemudian dijadikan microfilm dari koleksi Perpustakaan Universitas Cornell.
Terutama sejak tahun 1969, ketika KITLV mendirikan kantornya di Jakarta, penambahan koleksi dari dokumen Indonesia (terutama buku, Koran, dan jurnal) meningkat secara signifikan. Saat ini koleksi dokumen KITLV dari Indonesia dalam bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai yang terbesar di dunia, di luar Indonesia tentunya.
Katalog on-line memuat sekitar 98% dari seluruh judul miliki perpustakaan. Sekitar 90% dari judul-judul dalam katalog ini dilengkapi dengan kata kunci dalam bahasa Inggris untuk memudahkan pencarian.
Alamat berkunjung:
Reuvensplaats 2
2311 BE Leiden
Alamat pos:
P.O. Box 9515
2300 RA Leiden
Telepon: +31-71-5272420
Fax: +31-71-5272638
E-mail: kitlvbib@kitlv.nl
Website: www.kiktlv.nl
ACUAN
Coolhaas, W.Ph. (ed.)
1660-Generale missive van gouverneur-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff (Rijks Geschiedkundige PublicatiĆ«n, grote serie)
Drooglever, P.J.
1985 ‘Onaangeboorde bronnen in de Oost: de betekenis van de in IndonesiĆ« bewaard gebleven Indische archieven voor de geschiedwetenschap.’ Dalam: K. Kooijmans et al (ed.), Bron en publikatie, hal.119-138. ‘s-Gravenhage
Iskandar, Teuku
1999 Catalogue of Malay, Minangkabau, and Sout Sumatran manuscripts in the Netherlands. 2 jil. Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom
Jaquet, Frits G.P. (ed.) 1983
Source of the history of Asia and Oceania in the Netherlands. Part II: Sources 1796-1949. Munchen etc.: K.G. Saur [lihat juga Roessingh 1982]
Matheson Hooker, Virginia
1991 Tuhfat al-Nafis: sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustka
Molen, Willem van der
1984 ‘Six Malay manuscripts in the Algemeen Rijksarchief at The Hague.’ Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 140, hal.326-333
Raben, R. et al.
1992 De archieven van de Verenigde Oostindische Compagnie. The archives of the Dutch East India Company (1602-1795). ‘s Gravenhage: Sdu
Roessingh, Marius P.H. (ed)
1982 Sources of the history of Asia and Oceania in the Netherlands. Part I: sources up to 1796. Munchen etc.: K.G. Saur [see also Jaquet 1983]
Verhoeven, F.R.J.
1964 ‘The lost archives of Dutch Malacca 1641-1824’. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 37, hal.11-27
Vos, Reinout
1993 Gentle Janus, merchant prince: the VOC and the tightrope of diplomacy in the Malay world, 1740-1800. Leiden: KITLV [VKI 157]
Wan Ali Wan Mamat
1985 Katalog manuskrip Melayu di Belanda = Catalogue of Malay manuscripts in the Netherlands. Kuala Lumpur : Perpustakaan Negara Malaysia
Watson Andaya, Barbara & Leonard Y. Andaya
1982 A history of Malaysia. London dan Basingstoke: Macmillan
Wieringa, E.P.
1998 Catalogue of Malay and Minangkabau manuscripts in the Library of Leiden University and other collections in the Netherlands. Vol. 1. Leiden: Legatum Warneriarum di Leiden University Library
Wieringa, E.P.
2007 Catalogue of Malay and Minangkabau manuscripts in the Library of Leiden University and other collections in the Netherlands. Vol. 2. Leiden: Legatum Warneriarum di Leiden University Library
Catatan kaki:
Makalah Seminar Ilmiah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Solo,13-15 November 2007.
Belanda: Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen.
Belanda: Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. Sekarang dikenal dengan nama KITLV/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.
Belanda: Indisch Genootschap.
Sebelum tahun 2005, pemerintah Belanda menganggap perpindahan kekuasaan pada tanggal 27 Desember 1949 pada Konferensi Meja Bunda sebagai awal berdirinya Republik Indonesia. Pernyataan itu sejak awal ditentang oleh berbagai lapisan masyarakat Belanda, yang meminta pengakuan pemerintah Belanda atas tanggal 17 Agustus 1945.
Lihat situs SPIN (Scientific Program Indonesia-Netherlands) di www.knaw.nl/indonesia/.
Lih. Situs IIAS (International Institute for Asian Studies) di www.iias.nl
Yang berikut sebagian besar berdasarkan Raben at al. (1992), yang membuat kata pengenalan yang sangat bagus dan memberikan panduan terhadap dunia arsi VOC yang kompleks.
Dokumen-dokumen besar ditemukakan dalam dua kopi, sebuah di Surat Umum dan sebuah lagi di buku kumpulan surat Batavia tentang dokumen masuk.
Hal ini terlah terbukti relevan, dengan arsip Malaka misalnya, karena arsip asli dari administrasi Belanda di Malaka sangat tidak lengkap. Untungnya, arsip-arsip tersebut tidak benar-benar hilang. Bagian-babian dari arsip asli Malaka ditemukan di Kantor Catatan Publik di London (Verhoeven 1964; Raben et al. 1992:77)
Selain itu, terdapat sebuah seri terpisah dari perjanjian yang disimpan dalam kategori ‘Dokumen yang disimpan secara terpisah’ (Afzonderlijk gehouden stukken) (lihat Raben et al. 1992:55).

SOSIALISASI KEARSIPAN DI MQTV BANDUNG

Udara malam di sekitar daerah Geger Kalong, tempat studio MQTV berada, memang dingin. Dan bertambah dingin ketika hujan rintik yang turun sejak sore pelahan-lahan bertambah lebat. Untunglah satu jam sebelum acara Kafe Ceu Popon, yang akan tayang secara live jam sembilan tepat, hujan mereda.
Irwan Zabonk sebagai produser acara serta sejumlah crew MQTV sudah menunggu untuk membahas dan mempersiapkan materi, sebelum bintang tamu, Kepala Badan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat, tiba.
Meskipun udara di luar studio dingin, namun di dalam terasa sangat gerah. Panas ternyata berasal dari lighting ribuan volt serta setting studio yang sesak dengan berbagai macam peralatan elektronik. Rapat kilat pembahasan materi pun selesai dan menghasilkan tajuk Kesadaran Masyarakat terhadap Kearsipan, dan acara live pun siap.
Sekitar lima menit sebelum acara ‘teng’ dimulai, Kepala Badan Kearsipan Daerah Prov. Jabar, Drs. H. Dedi Junaedi, M.Si. masuk ke studio dan berdiskusi dengan crew pengusung acara, terutama dengan Ceu Popon dan Agus Injuk yang menjadi host, untuk memastikan thema yang akan diusung tidak terlalu jauh melenceng dari tajuk yang sudah ditetapkan oleh produser acara.
Sosialisasi Kearsipan
Dalam berbagai kesempatan, Kepala Basipda beberapa kali menyoroti masalah sosialisasi kearsipan yang masih lemah. Hal itu tentu disebabkan berbagai faktor yang kini telah dipahami secara persis oleh Kepala Basipda sebagai kendala yang tidak mungkin dihilangkan secara instan. Karenanya, ketika undangan yang teramat mendadak datang Jum’at siang untuk menjadi bintang tamu di acara Kafe Ceu Popon, yang tayang secara live di MQTV setiap Jum’at, pukul 2100, sekejap membuat Kepala Basipda bimbang. Akan ada sejumlah janji yang dibatalkan dan beberapa pertemuan yang dicancel, dan beliau akan merasa tidak enak dengan pembatalan yang mendadak itu. Namun, di sisi lain, tugas sosialisasi live di media elektronik sangat sulit diwakilkan mengingat sang produsernya sendiri yang meminta begitu. Bila diwakilkan, performance acara, daya gregetnya akan sedikit berkurang.
Target Sosialisasi
Selesai acara live pukul 2200, kajian singkat pun dilakukan. Hasilnya, cukup bagus. Acara berjalan baik, tidak kedodoran, bintang tamu dan host berhasil menyampaikan pesan sesuai tajuk. Salah satu kekurangan yang sangat kentara adalah bahan spot iklan layanan masyarakat yang sangat minim (karena Basipda memang cuma memiliki satu-satunya itu) sehingga spot iklan Basipda yang tayang setiap jeda acara, kurang bertenaga mendukung thema. Dan ini memberi pelajaran kepada Basipda untuk membuat beberapa spot iklan yang berbeda yang disesuaikan dengan target sosialisasi.
Ke depan, jika memungkinkan, Kepala Basipda akan tampil di Metro TV (dialog) atau di acara Empat Matanya Tukul Arwana. Siapa tahu. (ask).

FOTOGRAFI UNTUK DOKUMENTASI

Oleh: Agus Sulistiyono
Mendokumentasi suatu kejadian atau peristiwa, bukanlah pekerjaan rumit nan njelimet. Itu adalah pekerjaan sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tinggal ambil tustel, jepret! Selesai. Atau ambil kamera, sorot… jadilah. Soal hasilnya bagus atau tidak, jangan dulu dipikirkan, yang penting peristiwa itu dapat terabadikan melalui tustel atau kamera. Cukup.
Pada suatu saat nanti, jika kita lihat hasilnya, jangan kecewa jika ternyata hasil jepretan tustel dan sorotan kamera yang kita lakukan ternyata tidak mampu menangkap nuansa kejadian atau peristiwa yang sebenarnya. Untungnya, peristiwa yang kita abadikan tersebut adalah peristiwa yang di dalamnya kita terlibat, baik secara phisik maupun emosional. Sehingga, meskipun hasil jepretan tustel atau sorotan kamera kita buruk, tapi kita masih dapat mengingat kejadian tersebut dengan baik.
Untuk sekedar mendokumentasi kegiatan pribadi, atau keluarga, atau orang-orang terdekat kita, yang konsumsinya untuk, dan hanya untuk, pribadi. Mungkin, itu semua, memadai. Tapi tentunya lain cerita jika dokumentasi ini konsumsinya untuk orang banyak, untuk publik. Pendokumentasian tentu tak bisa dilakukan dengan cara asal-asalan.
Pendokumentasian harus dilakukan dengan cermat. Dengan perencanaan yang apik dan terarah. Sehingga ketika pendokumentasian itu dipublikasikan, orang dengan mudah mengikuti alur kejadian atau peristiwa yang terekam dalam gambar.
Kemudahan orang untuk memahami foto atau gambar yang menampilkan suatu kejadian atau peristiwa, memang tidak bisa tidak, musti didukung oleh skill yang memadai, yang wajib dikuasai oleh fotografer atau kamerawan. Selain itu, penguasaan tools alat fotografi, baik yang manual maupun digital, menjadi poin dan nilai plus tersendiri. Hal tersebut disebabkan oleh hubungan kausalitas yang tak mungkin dipisahkan antara skill dan penguasaan tools. Bagaimana mungkin seorang fotografer dapat melakukan pemotretan dengan maksimal, dengan mengerahkan seluruh skill yang dimilikinya, jika dia tidak menguasai tools dari alat yang dipergunakannya. Sebaliknya, percuma saja memiliki kamera mahal dengan tools yang lengkap dan canggih, namun tidak dapat memanfaatkan dan mengimplementasikannya ke dalam teknik pemotretan.
Sementara itu, skill seorang fotografer akan bertambah dan semakin berkembang apabila penguasaan toolsnya telah memasuki tahap memahami karakter suatu kamera.
Dalam hal ini, terdapat pula hubungan unik antara karakter fotografer dan karakter kamera. Oleh karena itu, apabila seorang fotografer telah menemukan karakter kamera yang sesuai dengan karakter pribadinya, maka dia tidak akan beralih kepada jenis dan merk kamera yang lain. Dia akan setia secara abadi sampai dia menemukan karakter baru yang memperkaya karakter pribadinya secara telak.
Jadi, jangan heran jika seorang fotografer memperlakukan kamera sebagai benda keramat yang sakral dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dalam hidupnya. Karena itu, kiranya bisa dimengerti jika sejumlah fotografer dunia menikahi kameranya secara total dan berselingkuh dengan kamera-kamera lain hanya untuk memastikan bahwa kamera yang dinikahinya itu adalah kamera terbaik untuk dirinya. Sementara fotografer lain, menjadikan kamera sebagai istri kedua yang takkan pernah diceraikan.
Di kalangan sebagian komunitas fotografer sendiri terdapat berbagai macam istilah untuk mengetahui kamera apa yang dipergunakan, misalnya dengan pertanyaan seperti ini, “Anda agamanya apa?” Jawabannya mungkin Nikon, Canon,Pentax atau yang lainnya. Hal itu menunjukkan fanatisme fotografer terhadap kamera yang dikuasai dan disenanginya.
Fotografi Untuk Dokumentasi
Penggunaan teknologi fotografi sebagai salah satu cara untuk mendokumentasi suatu kejadian penting sudah berlangsung setidaknya sejak satu setengah abad yang lalu. Teknologi ini menggantikan secara zakelijk para juru gambar cepat yang bekerja dengan pensil dan kertas di tempat-tempat tertentu seperti pengadilan, dewan kota, theater dan lain-lain. Akurasinya menangkap moment yang brilian serta keotentikan hasilnya yang tak terbantahkan, merupakan poin utama kredibilitas fotografi sebagai sumber informasi pada saat itu. Kredibilitas yang tak tertandingi ini kemudian dijadikan sebagai modal utama dan menu yang paling laku bagi sejumlah perusahaan pers yang berkembang di eropa dan amerika. Bahkan hingga sekarang paradigma tersebut belum bergeser secara prinsip. Seiring dengan itu, penggunaan fotografi sebagai alat dokumentasi mulai merambah dan dipergunakan di kalangan pemerintahan dan sejumlah corporate untuk berbagai tujuan. Namun tujuan yang paling umum adalah sebagai pendamping dokumentasi tertulis. Di Indonesia sendiri, khususnya di Jawa Barat, penggunaan fotografi oleh Pemerintah dilakukan kurang lebih sejak tahun 50-an. Hal tersebut dapat dilihat dari koleksi arsip foto yang terdapat di Basipda Prov. Jabar yang jumlahnya mencapai angka ribuan.
Perkembangan Teknologi Fotografi Dari Sisi Kearsipan
Sejak awal perkembangannya, teknologi fotografi memang telah sukses memangkas sebagian prosedur dan mekanisme biaya pendokumentasian. Dan dalam perjalanan perkembangan berikutnya, dia mengarah kepada dan menjadi teknologi yang mudah dipergunakan. Sehingga memotret bukan lagi pekerjaan yang sulit yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu, tapi menjadi mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk anak-anak sekali pun. Karena anda tidak perlu melakukan apa pun selain melihat ke lubang intip untuk membidik objek, kemudian tekan shutter .... Jepret!!! Itu saja. Cukup.
Setelah kurang lebih satu setengah abad teknologi fotografi dikuasai teknologi seluloid, di awal tahun 80-an, mulailah berkembang teknologi digital yang waktu itu masih sangat mahal dan hanya dilakukan oleh segelintir fotografer. Seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi hardware komputer yang didukung secara kokoh oleh perkembangan softwarenya juga, maka teknologi digital fotografi yang semula dianggap mahal, secara tiba-tiba menemukan formatnya yang paling pas untuk mengembangkan diri. Baik mengembangkan diri dari segi harga yang murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat, maupun dari segi tools dan feature yang ditawarkan, yang semakin lengkap dan semakin rumit.
Dan perkembangan ini akan terus berlanjut karena digital fotografi telah juga sukses memangkas mekanisme biaya, sama persis seperti pendahulunya yang memangkas biaya juru gambar. Selain pemangkasan biaya untuk pembelian dan pencucian filem, digital fotografi juga mampu memangkas waktu yang diperlukan untuk melihat hasil pemotretan. Bila pada fotografi manual kita harus mencetak filem agar dapat melihat sebagus apa hasil pemotretan yang telah dibuat dan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya dua jam, maka pada digital fotografi hanya membutuhkan setengah detik saja untuk melihat hasilnya di LCD. Yang paling menarik dari perkembangan digital fotografi adalah dari segi biaya. Teknologi yang murah dan mudah adalah kunci terbaik untuk membuka pasar seluas-luasnya. Dan bagi para vendor kamera, pasar yang luas berarti keuntungan yang besar dan berlipat-lipat. Suatu kamera dengan teknologi yang mudah digunakan namun harganya murah adalah kamera yang sudah pasti akan memasuki pasar yang luas karena hukum ekonomi, dan itu juga berarti kamera tersebut akan masuk dan merambah ke segala lapisan masyarakat. Apabila ini terjadi, bisa dipastikan akan terjadi semacam ledakan jumlah dokumentasi pribadi, corporate dan lembaga pemerintahan.
Meskipun secara teknologi, digital fotografi telah memberikan sumbangan pada kemurahan biaya dan kemudahan untuk melakukan pendokumentasian, namun dari sisi kearsipan, digital fotografi telah membukakan pintu yang demikian lebar terhadap ambruknya kredibilitas fotografi sebagai bahan bukti otentik.
Hal tersebut terjadi karena kokohnya pengembangan software grafis yang mampu secara telak memanipulasi hasil digital fotografi. Walaupun pada awalnya manipulasi grafis ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas foto, namun perkembangan yang terjadi belakangan, justru manipulasi ini lebih banyak dan lebih sering dipergunakan untuk kepentingan periklanan yang sangat menitikberatkan pada dramatisasi tujuan demi kepentingan jargon yang dijual. Sehingga digital fotografi menjadi objek yang boleh dan bisa dijungkirbalikkan sesuai dengan keinginan tertentu.
Oleh sebab itu, karena sifatnya dan karena keterbukaannya pada manipulasi dan rekayasa, maka dari sisi kearsipan, digital fotografi yang notabene merupakan produk teknologi terbaru, justru berlari melesat demikian jauh ke belakang, mundur ke satu setengah abad yang lalu, di mana kredibilitas dokumentasi sangat ditentukan oleh manusia pembuatnya, bukan oleh alat yang dipergunakan yang memiliki mekanisme penciptaan dokumen yang ajeg.
Manajemen Penciptaan Arsip Elektronik
Melihat rawannya manipulasi pada digital fotografi, maka mekanisme manajemen penciptaan digital fotografi, yang dalam hal ini merupakan sebagian saja dari sejumlah permasalahan arsip elektronik, perlu dibakukan dalam prosedur standar yang tetap agar keaslian dan keotentikan dokumen dapat terjaga.
Dalam praktek pelaksanaannya, prosedur standar tersebut tidak saja harus mampu mengatur keaslian penciptaan, namun juga harus bisa menjaga keotentikan dokumen ketika terjadi peralihan media penyimpanan. Sehingga, meskipun jenis dan merek alat untuk mendokumentasi itu berbeda, namun dengan prosedur standar tersebut, kesemuanya dapat diakomodir dengan tetap mempertahankan keaslian dan keotentikannya, serta menyimpannya dalam media penyimpanan yang mampu bertahan lama.

UPAYA MENYELAMATKAN ASSET SEJARAH

Perhelatan demokrasi yang berwujud Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat, untuk menentukan Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Barat periode 2008 - 2009, merupakan salah satu kegiatan kebangsaan yang sangat penting untuk diketahui oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Badan Kearsipan Daerah, perlu kiranya diambil langkah-langkah yang tepat dan terrencana agar arsip-arsip yang tercipta dari kegiatan tersebut dapat diselamatkan. Sehingga arsip sebagai salah satu asset sejarah dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Demikian hal tersebut mengemuka dalam sambutan Kepala Badan Kearsipan Daerah Prov. Jabar, Drs.H. Dedi Junaedi,M.Si., ketika meresmikan Pembukaan Pembekalan Akuisisi Arsip Pemilihan Gubernur, Selasa (8/4), di hotel Lingga, Jl. Sukarno-Hatta, Bandung.
Acara yang berlangsung selama dua hari itu, diikuti oleh sejumlah perwakilan dari lembaga-lembaga kearsipan dan KPUD yang berasal dari Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai nara sumber, Drs. Tulkhah Mansyur, M.Si. Direktur Akuisisi dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Drs. Setia Permana, Ketua KPU Daerah Provinsi Jawa Barat.
Dalam presentasinya, Tulkhah Mansyur me-maparkan tiga hal yang perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga kearsipan di daerah, baik provinsi maupun kota, yaitu:
1.Melakukan pembinaan pengelolaan dan penyelamatan arsip/dokumen Pemilu kepada KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota
2.Menyelamatkan dan melestarikan arsip/dokumen Pilkada daerah masing-masing
3.Melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan ANRI dalam rangka penyelamatan dan pelestarian arsip/dokumen Pemilu.
Sementara Setia Permana menjelaskan langkah-langkah dan strategi tertib arsip di KPU, baik KPU Provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut Setia, seluruh tahapan pemilu telah diarsipkan dan ditata oleh petugas yang khusus menangani arsip. Dia juga mengungkapkan, pendokumentasian yang baik dan lengkap, merupakan sarana untuk melihat idealitas.
“KPU memandang kearsipan sangatlah penting. Karena apabila seluruh tahapan pemilu tidak terdokumentasikan, maka akan terjadi kesenjangan antara idealitas dan realitas.” Demikian katanya.
Usai kedua nara sumber tersebut memaparkan presentasinya masing-masing, Kepala Basipda Prov. Jabar, Drs.H. Dedi Junaedi,M.Si. Langsung memimpin dan memoderatori tanya jawab antara peserta dengan nara sumber. Usai session tersebut, acara dilanjutkan dengan menghadirkan sejumlah pembicara yang berasal dari pejabat struktural Basipda Prov. Jabar (ask)

BASIPDA IKUTI BANJAR FAIR 2008


Walikota Banjar dr. H. Herman Sutrisno MM, disaksikan sejumlah unsur Muspida, Pejabat Teras Pemkot serta Wakil Walikota Banjar, H. Akhmad Dimyati, membuka secara resmi Banjar Fair 2008, Senin sore (21/7) di lapangan Bhakti Kota Banjar. Dalam sambutannya yang singkat, Herman mengatakan bahwa event tersebut merupakan salah satu upaya mempromosikan berbagai potensi yang dimiliki kota Banjar serta sebagai sarana hiburan yang murah meriah bagi seluruh kalangan masyarakat. Usai membuka pameran secara resmi, Herman berkesempatan mengunjungi stand para peserta pameran yang berasal dari sejumlah SKPD Kota Banjar serta sejumlah pelaku UKM. Salah satu stand yang menarik minat Herman adalah stand BASIPDA Prov. Jabar yang merupakan peserta satu-satunya yang berasal dari SKPD Provinsi.
Secara khusus Herman menyempatkan diri berdialog dengan Drs. H. Dedi Junaedi, M.Si Kepala Badan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat yang dalam kesempatan itu hadir untuk menyaksikan secara langsung pelaksanaan pameran. Dalam dialog singkat tersebut terungkap bahwa kota Banjar masih tertinggal di bidang Kearsipan, hal itu dapat dimengerti karena usia pemerintahan kota Banjar yang masih muda, namun Herman menyatkan bahwa sarana dan prasarana kearsipan di kota Banjar akan segera dipersiapkan dalam waktu dekat ini. Salah satu yang sedang dipersiapkan adalah pembangunan gedung untuk Kantor Arsip dan Perpustakaan kota Banjar yang mendekati penyelesaian.
Ditemui secara terpisah, Dedi Junaedi menegaskan bahwa kehadiran Basipda ikut dalam pameran ini adalah untuk memotivasi daerah dalam menyelenggarakan kearsipan. “Dengan menampilkan arsip-arsip yang dimiliki muatan lokal, kami yakin hal tersebut dapat menggugah kesadarah aparatur maupun masyarakat kota Banjar terhadap pentingnya arsip sebagai sumber sejarah dan pusat ingatan, ini terbukti dari jujmlah pengunjung yang hampir rata-rata sangat antusias terhadap materi yang kami sajikan” paparnya.
Lebih jauh lagi Dedi menjelaskan bahwa selain untuk memotivasi daerah, pameran ini pun dimaksudkan sebagai upaya mensosialisasikan program-program keasipan yang selama ini kurang mendapat dukungan dan bahkan di sebagian daerah ada yang dimarginalkan, ini sangat disayangkan mengingat penataan dan pengelolaan arsip yang baik merupakan salah satu tolok ukur akuntabilitas publik.
Banjar Fair ini rencananya akan digelar terus sampai dengan 10 Agustus mendatang(ask)